Sedikit cuplikan dari buku “Mohammad Hatta, Hati Nurani Bangsa”

tidak mudah menulis tentang orang besar, apalagi bila diharapkan tulisan itu bersifat menyeluruh: dari masa kelahiran sampai wafatnya.dan sesudah ia wafat pun, akan ada saja cerita-cerita yang belum terungkap dari tuturan lisan kawan-kawan tokoh bersangkutan, atau pun dari bahan tertulis (koran, majalah, surat-surat, dan lain-lain) yang selama ini belum dirujuk. Tulisan ini bermaksud mengungkapkan kehidupan almarhum Mohammad Hatta, tokoh nasional dari zaman pergerakan, salah seorang dari dua proklamator kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

 

Kita dapat membagi-bagi jalan hidup Hatta dalam berbagai masa:

  •           Masa kecil di Bukittinggi dan Padang (1902-1917)
  •           Remaja di Padang dan Jakarta (1017-1021)
  •           Matang dengan Pergerakan (1921-1932)
  •           Masa Pergerakan di Jakarta, Digul dan Banda Neira (1932-1941)
  •           Di bawah Pendudukan Jepang (1942-1945)
  •           Perang Kemerdekaan (1945-1949)
  •           Wakil Presiden di Masa Merdeka Penuh (1950-1956)
  •          Sebagai Warga Negara Biasa (1956-1980)
                                                                                                                                                                                                        
       Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902 dari keluarga berlatar surau di Batu Hampar (kampung di pinggir jalan antara Bukittinggi dan Payakumbuh). Sebagaimana dalam tradisi surau, kerja dagang juga menjadi kebiasaan mereka. Datuk (kakek)-nya, Syaikh Abdurrahman, seorang ulama besar di surau Batu Hampar, dan walaupun ayahnya, Muhammad Djamil, tidak melanjutkan kehidupan ulama (pamannya yang menggantikan datuknya di surau), melainkan berdagang, namun tentulah pengaruh agama tidak lepas dari dirinya. Dan memang sedari masa kecilnya ia sudah dididik agama, baik ibadah maupun perilakunya, dengan sangat disiplin.
       Ibunya berasal dari kalangan pedagang. Seseorang, yang dipanggil oleh Hatta Pak Gaek, bernama Ilyas, gelar Bagindo Marah, adalah kakek Hatta dari ibu. Pak Gaek ini seorang pedagang besar. Beberapa orang paman Hatta juga pengusaha besar di Jakarta pada tahun 1930-an, dengan tokonya di Senen, “ Djohan Djohor”. Ibu Hatta, setelah suaminya meninggal dunia, kawin lagi dengan Haji Ning, seorang pedagang asal Palembang.
       Di masa kecil, Hatta bersekolah di Bukittinggi, di Padang di ELS (Europeesche Lagere School, sekolah dasar berbahasa Belanda), sekolah dasar untuk orang kulit putih sampai 1913 (dari kelas 5 sampai kelas 7), kemudian di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, SMP berbahasa Belanda) sampai 1917. Di samping belajar biasa, ia juga rajin belajar agama.
       Selain keluarga, pergaulan juga banyak mempengaruhi perhatian Hatta pada perekonomian. Di Padang ia mengenal para pedagang yang menjadi anggota Serikat Usaha, semacam kamar dagang bersifat lokal, terutama sekretarisnya, Taher Marah Sutan. Juga di Padang ini ia mengenal dan aktif dalam pergerakan Jong Sumatranen Bond (Perkumpulan Pemuda Sumatra), yang kemudian dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Jakarta di Prins Hendrik School, sekolah dagang menengah. Di JSB cabang Padang ia menjadi bendahara, dan di Jakarta ia pun menjadi bendahara di pimpinan pusatnya. Baik dari pergaulan dengan kalangan Islam, maupun dengan kalangan Serikat Usaha, Hatta belajar menjaga waktu . Ia kemudian, setelah menjadi tokoh pergerakan, termasuk merekan yang sedikit jumlahnya, yang benar-benar menjaga waktu. Malah boleh dikatakan, Hatta sangat kaku dalam hal waktu ini sehingga bila ada yang berjanji dengan dia pada jam tertentu, dan yang bersangkutan terlambat tiba, ia tak segan-segan menolak menemui orang yang terlambat itu. Hanya kemudian, karena memang keadaan lalu lintas di Jakarta tidak memungkinkan seseorang mengejar waktu, ia lebih dapat memahami keterlambatan tamu bersangkutan. Tetapi, disiplin hidup memang sudah melekat pada Hatta dari masa ia kecil. Kedudukannya sebagai bendahara organisasi JSB menuntut ia berdisiplin tinggi; keuangan organisasi ini dapat ia atur rapi.   
 

       Usaha Hatta memperkenalkan Indonesia di Eropa terus saja berlanjut. Ia berpidato tentang Indonesia pada Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan (International League of Women for Peace and Freedom) yang diadakan di Gland, Swiss. Ia juga berpidato di hadapan para mahasiswa Indologi di Utrecht, Belanda, pada 1931. Tentu saja dalam kedua pidato itu Hatta mengemukakan penderitaan rakyat Indonesia karena penjajahan, dan sebaliknya kemegahan kerajaan-kerajaan kuno Indonesia, juga keperkasaan Aceh melawan Belanda pada abad ke-19. Pidatonya di Utrecht lebih menjelaskan pergerakan nasionaldalam masa modern, hambatan yang dialami dari pihak Belanda, dan cita-cita kemerdekaan. Hatta melihat kesempatan berpidato di Utrecht itu sebagai usaha membalikkan pemikiran para calon pejabat untuk Indonesia yang tentu diharapkan dapat memperkokoh kedudukan pemerintah Belanda di negeri koloni tersebut. Hatta menolak pendapat Belanda tentang perkembangan di Indonesia. Tulisan-tulisan pejabat Belanda tentang Indonesia (dan yang umunya menjadi bacaan bagi para mahasiswa Indologi) banyak juga yang dikritik Hatta dalam pidatonya di Utrecht itu.
       Dalam menulis dan berpidato di Belanda, Hatta juga sering mengemukakan soal koperasi. Rupanya dari masa mudanya Hatta sudah sangat gandrung pada koperasi, yang dinilainya akan mungkin mengangkat harkat dan martabat bangsa dalam bidang ekonomi. Perlu dicatat, pada 1925 Hatta sengaja pergi dengan Samsi Sastrawidagda (juga dari Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam) mengunjungi Denmark dan Skandinavia untuk mengamati perkembangan koperasi. Apalagi Denmark, sebagian besar penduduknya memang menjadi anggota koperasi.
 

Bapak Koperasi

       Hatta semenjak berjuang di zaman jajahan, apalagi setelah memegang jabatan tinggi sebagai perdana menteri atau pun sebagai wakil presiden, sangat memberi perhatian pada koperasi. Memang lambat-laun koperasi tumbuh, terutama pada tahun 1950-an dengan terbentuknya Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) segera setelah penyerahan kedaulatan. GKBI dapat segera berkembang, malah dapat menggantikan peran pengusaha-pengusaha Cina yang mendapat kesempatan dalam zaman pendudukan Belanda. Maka pada masa sekitar berhentinya Hatta, GKBI telah dapat membangun empat pabrik mori (bahan kain batik) di Jawa. Juga impor mori, mulanya setelah penyerahan kedaulatan, secara cepat diambil alih oleh perusahaan ini, dengan mengesampingkan peran pengusaha-pengusaha Cina semula. Hatta pun diangkat menjadi “Bapak Koperasi”, suatu kedudukan  yang sering dikaitkan dengan “Bapak Kedaulatan Rakyat” karena koperasi memang menjadi andalan pula, dan diharapkan memberi pengaruh dalam menegakkan kedaulatan rakyat.
 

Baca kisah perjuangan dan keteladanan dari Sang Bapak Koperasi selengkapnya di buku “Mohammad Hatta, Hati Nurani Bangsa” dan “Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman”. Hanya di Perpustakaan Koperasi “Kopma UGM”..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment